Thursday, January 22, 2009

Krisis EkOnOmI dan PeraN KonKrit ApOtEkEr

Sepertinya negara kita tetap tidak bisa terhindar dari pengaruh krisis ekonomi yang melanda Amerika dan negara-negara di Eropa. Beberapa indikator ekonomi makro sudah menunjukkan fenomena tersebut. Penurunan nilai tukar rupiah, penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan kenaikan suku bunga SBI adalah beberapa indikator yang bisa kita lihat. Padahal beberapa analis mengatakan dampak nyata akibat krisis ekonomi baru akan terasa 3 - 6 bulan kedepan.

Karena pada saat itu nilai ekspor kita akan mulai mengalami penurunan dan bila kita tidak bisa mengendalikan impor bisa bisa neraca perdagangan kita akan mengalami defisit.

Sejalan dengan prediksi para analis, Menteri Kesehatan dalam pernyataannya yang dimuat di harian Republika 20 Oktober 2008 mengatakan bahwa Departemen Kesehatan akan membatasi impor obat jadi dan lebih menekankan lagi pemakaian obat generik. Memang betul pengurangan impor obat jadi bisa menghemat devisa negara, tapi (mungkin) Menkes lupa bahwa obat-obat yang diproduksi lokalpun tetap menguras devisa karena bahan bakunya juga harus diimpor. Apalagi kalau karena kebijakannya tersebut konsumsi obat generik menjadi berlipat ganda.

Sebagaimana kita ketahui, kebutuhan impor bahan baku obat kita memang sangat tinggi dan tidak mungkin dikurangi kalau kebutuhan obat tidak berkurang. Pengurangan impor hanya terjadi karena keterpaksaan akibat daya beli masyarakat mengalami penurunan yang drastis sebagai dampak turunnya nilai tukar rupiah. Tapi bila itu terjadi berarti kita memasuki kondisi kekurangan pasokan obat. Masih ingat krisis ekonomi yang melanda negara kita tahun 1997 ?

Oleh karena itu pertanyaan yang relevan untuk dilontarkan adalah, bila negara kita terimbas dampak krisis ekonomi Amerika akankah harga obat mengalami kenaikan ? Hampir pasti jawabannya adalah ya. Kecuali ada intervensi Pemerintah melalui program subsidi. Tapi, itupun hanya pada obat-obat generik. Untuk obat-obat generik bermerek tergantung ketegasan Pemerintah. Apabila ketentuan harga obat generik bermerek maksimum 3 kali obat generik diberlakukan secara konsisten maka sepanjang harga obat generik tetap, harga obat generik bermerek juga tidak naik. Bagaimana dengan obat-obat paten. Jangan ragu-ragu, hampir bisa dipastikan harganya juga akan naik.

Apakah kenaikan harga obat menjadi perhatian sejawat dokter ? Saya tidak tahu pasti. Seandainya ya, berarti dokter harus mengetahui informasi lengkap tentang harga obat. Sungguh merepotkan. Disamping menegakkan diagnosa dan menentukan jenis obat dokter juga harus memilihkan merek yang sesuai dengan kondisi ekonomi pasien. Kalau memang demikian maka gugurlah asumsi bahwa beda merek beda efikasi. Karena sejawat dokter yang fanatik terhadap merek tertentu karena alasan efikasi mau tidak mau harus belapang dada mengganti merek yang lebih sesuai dengan daya beli pasien. Sebenarnya ada juga alternatif lain bila sejawat dokter tidak mau repot, yaitu meresepkan obat generik.

Bagaimana seandainya sejawat dokter tidak memberi perhatian terhadap kenaikan harga obat ? Pasienlah yang akan kena dampaknya. Kecuali biaya pengobatan pasien ditanggung asuransi atau instansi tempat mereka bekerja. Bisa dibayangkan berapa alokasi biaya pengobatan yang harus ditambahkan untuk pasien yang menderita penyakit degeneratif yang sudah tidak bisa lepas dari obat.

Kenaikan harga obat bagi apotek berarti keharusan menambah modal kerja. Kalau harga obat naik maka modal kerja apotek juga harus ditambah agar level persediaannya terjaga. Belum lagi ada kemungkinan PBF akan mengurangi lamanya termin kredit bagi apotek. Dilain pihak biaya modal juga naik akibat naiknya bunga pinjaman. Jadi, apotek harus pandai-pandai menyiasati kondisi ini agar bisa bertahan.

Nah, bagimana peran kongkrit apoteker menghadapi krisis ekonomi ? Apoteker yang bekerja di industri akan dituntut untuk meningkatkan efesiensi proses produksi. Kalau perlu bahan baku disubtitusi atau formula obat ditinjau ulang atau proses produksi dimodifikasi agar kenaikan harga pokok produksi tidak terlalu besar. Pekerjaan ini sungguh merepotkan karena berarti harus ada kegiatan reformulasi dan validasi agar efikasinya tetap sama.

Apoteker yang bekerja di pemasaran akan menghadapi dilema karena biasanya anggaran promosi akan dirasionalkan tetapi demand tetap harus tumbuh. Mempertahankan saja sulit apalagi menumbuhkan. Jelas mereka dituntut lebih kreatif.

Bagaimana dengan apoteker yang di apotek ? Ini yang menarik. Bagi yang tidak rutin datang ke apotek, bisa jadi akan acuh tak acuh karena mengaggap hal itu bukan urusannya. Bagi yang aktif, pasti akan merasa pusing juga menghadapinya. Apoteker terpaksa harus putar otak untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya seefektif mungkin agar kegiatan operasional apotek tidak terganggu.

Tetapi yang paling penting dari semua itu adalah peran kongkrit apoteker bagi pasien. Dalam konteks farmakoekonomi, apoteker di apotek sebenarnya memiliki tanggungjawab moral untuk membantu pasien. Melalui penerapan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) apoteker bisa menjadi konsultan bagi pasien yang mengalami hambatan finansial dalam menebus obat.

Untuk bisa menerapkannya, apoteker harus tampil di garis depan dan menerima setiap pasien secara langsung. Bila pasien menghadapi kesulitan keuangan, apoteker bisa memberi alternatif pemecahan melalui penggantian merek obat, memilihkan prioritas obat yang harus ditebus, mengurangi obat yang tidak perlu bila ada indikasi polifarmasi dan sebagainya. Agar secara etika dapat dipertanggungjawabkan, sebaiknya tetap berkonsultasi dengan dokter penulis resep.

Bila cara ini bisa diterapkan dengan tepat, pasien pasti akan sangat terbantu. Pasien akan merasakan langsung bahwa ternyata ada profesi yang masih menaruh perhatian pada mereka. Akan timbul perasaan hormat dari pasien. Bahkan bukan tidak mungkin pasien akan mendapatkan sensasi positif yang menurut ilmu pemasaran dikenal dengan experiential marketing.

Efek samping dari aktifitas tersebut pasien akan lebih respek dan percaya pada apoteker. Mereka akan menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Merekapun tanpa diminta bisa menjadi tenaga pemasar yang efektif melalui word of mouth yang dilakukannya. Kalau sudah demikian, bersiaplah untuk menjadi rujukan bagi pasien-pasien yang lain.

Jadi ternyata krisispun bisa menjadi berkah baik bagi apoteker maupun pasien bukan ?

No comments:

Post a Comment

Yang mau memberikan komentar silahkan.