Thursday, January 21, 2010

Aspek Hukum Penggunaan Obat yang Irrasional


Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, & kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Bahwa hidup sehat sebagai Hak Azasi Manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan kesehatan termasuk pemberian obat-obatan yang rasional. Pemberian obat-obatan yang rasional merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelengaraan upaya kesehatan yang harus dilakukan oleh dokter & dokter gigi yang memiliki etika & moral yang tinggi, keahlian & kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya. Namun, pada kenyataannya dilapangan pemakaian obat yang irrasional masih sering atau banyak dijumpai dalam praktik pelayanan kesehatan sehari-hari, mulai dari praktik dokter, balai pengobatan, puskesmas, sampai di rumah sakit. Yang digolongkan pemakaian obat yang irrasional antara lain adalah pemakaian obat secara berlebihan baik dalam jenis maupun jumlah dosis, indikasi pemberian jenis obat yang tidak jelas, tatacara pemakaian atau penggunaan yang tidak tepat (termasuk obat puyer racikan), polifarmasi yang berisiko tinggi, penggunaan obat mahal sementara masih banyak obat sejenis yang lebih murah & penggunaan jenis obat suntik & infus yang tidak perlu. Jika diperhatikan, tujuan pengobatan bahwa secara umum adalah untuk pengobatan pasien tanpa meninggalkan efek samping obat ataupun dengan efek samping obat seminimal mungkin, serta harga obat yang dapat dijangkau oleh pasien, dengan jenis obat-obat yang tersedia & mudah didapatkan di apotek. Dalam praktik sehari-hari yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka tujuan pengobatan sering tidak tercapai. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian obat irrasional antara lain: * Faktor internal - Knowledge deficit: kurangnya pengetahuan secara umum dari seorang dokter terhadap pengetahuan ilmu kedokteran maupun ilmu farmasi medis. - Acquired habit: adanya kebiasaan meresepkan jenis atau merk obat tertentu. * Faktor eksternal - Cultural believe: kepercayaan masyarakat terhadap jenis atau merk obat tertentu. - Patient demand: keinginan pasien yang cenderung ingin mengkonsumsi obat tertentu, dengan sugesti menjadi lebih cepat sembuh - Influence of industry: adanya sponsor dari industri farmasi obat tertentu - Authority & supervision: adanya keharusan dari atasan di dalam suatu instansi atau lembaga kesehatan untuk meresepkan jenis obat tertentu. - Biased information: informasi yang tidak tepat atau bias, sehingga pemakaian obat menjadi tidak tepat. - Workload & staffing: beban pekerjaan yang terlalu berat sehingga seorang dokter menjadi tidak sempat untuk berpikir soal rasionalitas pemakaian obat. - Infrastructure: adanya keterbatasan penyediaan jenis obat di suatu instansi atau lembaga kesehatan tertentu, sehingga jenis obat yang diperlukan untuk suatu penyakit justru tidak tersedia, sehingga memakai obat yang lain. - Relation with peers: pemberian obat berdasarkan adanya hubungan baik perorangan dengan pihak dari industri farmasi. Jika memperhatikan UU no.36/2009 tentang Kesehatan, di pasal 105 ayat (1) berbunyi: “sediaan farmasi yang berupa obat & bahan obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya”, maka pemberian obat yang irrasional atau tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat dikategorikan melanggar hukum. Adanya efek farmakodinamik & farmakokinetik dari tiap-tiap jenis obat akan menimbulkan efek interaksi obat di dalam tubuh yang dapat merugikan ataupun membahayakan apabila pemakaian obat diberikan dalam jumlah jenis yang melebihi batas. Sebagai contoh, apabila kita memberikan 3 jenis obat maka akan didapatkan adanya 3 macam jenis interaksi obat, namun apabila kita memberikan 5 jenis obat akan menghasil kurang lebih 10 macam interaksi obat yang mempunyai resiko tinggi bagi pengguna. Pemakaian obat puyer, suntik, & infus yang irrasional juga banyak ditemukan di lapangan, terutama pada sarana kesehatan tingkat dasar seperti puskesmas ataupun dokter praktik swasta di daerah dengan ruang lingkup komunitas masyarakat menengah ke bawah. Adanya kepercayaan yang berakar pada masyarakat berpendidikan rendah yang merasa belum diobati apabila belum diberikan obat suntik. Jenis infus yang jenisnya terbatas & tersedia pada sarana kesehatan seperti puskesmas juga menyebabkan penggunaan infus menjadi tidak tepat. Adanya berbagai media informasi (media cetak, televisi, radio, internet, dst) juga memberikan efek kurang baik yang menyebabkan masyarakat menggampangkan memakai obat seperti obat pengurang nyeri (analgesik) atau penurun panas (antipiretik) yang tidak tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang dengan gampang menggunakan obat analgesik karena merasa sedikit nyeri kepala. Begitupun bagi para ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila ada anaknya yang demam, maka dengan cepat mereka diberikan obat antipiretik. Penggunaan obat antibiotik pada praktik pelayanan medis dapat digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu terapi definitif, yaitu pengobatan suatu penyakit berdasarkan pedoman dosis & cara tertentu. Namun ada juga yang disebut dengan terapi empirik, yaitu jumlah dosis yang digunakan berdasarkan pengalaman sehari-hari. Adanya resistensi obat & virulensi dari bakteri yang meningkat, menyebabkan dosis terapi empirik biasanya lebih tinggi dari pada yang seharusnya. Ditambah pula dengan adanya kemajuan teknologi farmasi yang mengembangkan antibiotik menjadi beberapa generasi & terus berkembang sampai sekarang. Pemberian terapi profilaksis antibiotik sampai sekarang masih menjadi bahasan, ada yang pro & kontra dalam praktik pelayanan medis sehari-hari. Bagi yang kontra, terapi ini memberikan pengaruh atau kontribusinya dalam besaran jumlah tertentu terhadap peningkatan resistensi obat & peningkatan virulensi bakteri. Namun bagi yang pro, pemberian terapi ini dapat mencegah bakteri penyakit berkembang menjadi lebih banyak & efek penyebaran yang lebih luas. Banyak dokter praktik swasta sekarang yang merangkap menjadi pemasar dari perusahaan farmasi tertentu atau mengikuti keanggotaan Multi Level Marketing (MLM) kesehatan. Umumnya, produk yang dijual adalah suplemen makanan (food supplement) atau multivitamin. Pemakaian food supplement ataupun multivitamin ini menjadi tidak rasional tatkala pemberian tidak berdasarkan indikasi, atau karena harga yang dikenakan cukup mahal, kadangkala malah jauh lebih mahal daripada obat yang justru penting diberikan untuk penyakitnya. Pada beberapa kasus, perusahaan farmasi yang menjadi sponsor penyelenggaraan kegiatan ilmiah di suatu organisasi profesi dokter atau di rumah sakit tertentu, kadang dianggap berhubungan dengan kebijakan pelayanan medis yang menjadi terikat pada ‘hubungan’ dokter dengan perusahaan farmasi tersebut. Keengganan menuliskan resep obat generik oleh kebanyakan dokter karena intervensi perusahaan farmasi seperti inilah yang membuat masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi kadang harus membayar lebih mahal untuk obat yang seharus dapat dibeli dengan murah. Di puskesmas daerah yang sangat terpencil & sangat sulit dijangkau karena medan yang sulit ditempuh oleh pegawai dinas kesehatan, kadang pasokan obat-obatan tidak terjamin dengan lancar, karenanya pegawai puskesmas hanya memberikan obat-obatan yang hanya tersedia kepada pasien yang berobat, walaupun indikasi pemakaiannya tidak tepat. Menilik banyaknya permasalahan, berikut alternatif pemecahan masalahnya: - Mengikuti seminar, workshop, diskusi panel atau forum-forum ilmiah mengenai penggunaan obat rasional merupakan salah satu jalan yang baik untuk menambah wawasan serta ilmu pengetahuan para dokter soal farmakodinamik ataupun farmakokinetik obat-obatan. Seperti kita ketahui, pengobatan akan memberikan efek pokok, efek samping, efek yang tak terduga & efek toksik. Karenanya menambah wawasan soal ini merupakan suatu keharusan mengingat kemungkinan risiko yang akan ditimbulkan. - Membatasi penggunaan obat puyer, suntik ataupun pemberian infus yang tidak perlu. - Menghimbau kepada pemerintah untuk membantu membatasi iklan di media massa yang ‘menghasut’ konsumen untuk menggunakan obat bebas tertentu yang dalam jangka panjang mempunyai efek samping yang kurang baik untuk kesehatan. - Pemberian food supplement atau multivitamin hanya apabila pasien benar-benar memerlukannya. Sebaiknya, dokter juga melihat keadaan ekonomi si pasien, mengingat harga food supplement umumnya mahal. - Mendorong kebiasaan untuk menulis resep obat generik untuk pasien merupakan pertimbangan yang baik, mengingat harga obat generik yang terjangkau oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. - Meminta pemerintah untuk memperbanyak publikasi mengenai penggunaan obat rasional, yang dipasang di tempat umum & sarana kesehatan. Juga mengharuskan tenaga kesehatan untuk mengikuti seminar/pelatihan mengenai penggunaan obat yang rasional disertai ‘punish & reward’ dalam pelaksanaannya. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat yang rasional merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan, dengan mengingat adanya kemungkinan medication error, yang bermuara pada adanya tuntutan hukum kepada pihak tenaga kesehatan. Pengobatan dengan obat yang kurang tepat indikasinya atau harga yang lebih mahal dari yang seharusnya hanya akan memberatkan pasien. Pemberian obat irrasional yang tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, yaitu UU no.36/2009 tentang Kesehatan, pasal 105 ayat (1).